Jumat, 01 Desember 2017

Pertumbuhan ekonomi di Papua triwulan II alami peningkatan

Pertumbuhan ekonomi di Papua triwulan II alami peningkatan



ini linknyaPertumbuhan ekonomi di Papua triwulan II alami peningkatan

Pertumbuhan ekonomi Provinsi Papua triwulan II tahun 2017 tercatat mengalami peningkatan lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya. 
Tercatat kinerja perekonomian Provinsi Papua mencapai 4,91 persen pada triwulan laporan, lebih tinggi dibandingkan kinerja triwulan sebelumnya yang sebesar 3,36 persen.
Kepala Tim Advisory Ekonomi dan Keuangan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Papua, Fauzan mengatakan, realisasi pertumbuhan ekonomi Papua tersebut lebih rendah apabila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,01 pada triwulan II 2017.
“Pertumbuhan ekonomi pada triwulan laporan dipengaruhi oleh kinerja lapangan usaha pertambangan dan penggalian yang tumbuh signifikan dari 0,38 persen pada triwulan I 2017 menjadi 6,75 persen,”kata Fauzan usai melaksanakan kegiatan Desiminasi Kajian Ekonomi dan Keungan Regional Provinsi Papua di Wamena, Kamis (28/9), seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Aman Hasibuan.
Menurutnya, kondisi tersebut sejalan dengan meningkatknya penjualan konsentrat tembaga hasil tambang. Di sisi lain, lapangan usaha konstruksi mengalami penurunan dari 9,42 persen pada triwulan I 2017 menjadi 3,84 persen pada triwulan laporan yang salah satunya disebebakan oleh rendahnya realisasi belanja APBD Provinsi Papua.
Untuk triwulan III 2017, kata Fauzan, pertumbuhan ekonomi diperkirakan berada pada kisaran 2,9 persen hingga 3,3 persen, lebih rendah dari triwulan II 2017 yang terutama dipengaruhi oleh base effect, dimana pertumbuha pada periodde yang sama tahun lalu, cukup tinggi 20,4 persen.
“Melemahnya kinerja ekspor luar negeri menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya pertumbuhan seiring permasalahan ketenagakerjaan dan operasional produksi lapangan usaha pertambangan,”ungkapnya.
Ia berharap pertumbuhan ekonomi Provinsi Papua setiap tahunya mengalami peningkatan, sehingga berdampak pada kesejahteraan masyarakat di semua wilayah Papua.

Potret Nyata Lesunya Ekonomi Indonesia

Potret Nyata Lesunya Ekonomi Indonesia


ini linknya Potret Nyata Lesunya Ekonomi Indonesia

Jakarta - Ekonomi Indonesia ternyata tidak seindah yang digembor-gemborkan oleh pemerintah. Boleh saja secara akumulasi pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai kembali level 5%, tapi berbagai sektor alami penurunan yang juga tidak sedikit. Bahkan patut untuk dikhawatirkan.

Mulai saja dari Pasar Glodok, Jakarta. Makin sepinya pengunjung memaksa para pedagang untuk menutup tokonya di area yang terkenal sebagai sarang barang elektronik tersebut.

Tak ingin cepat mengambil kesimpulan, namun hal yang serupa ternyata juga terjadi pada WTC Mangga Dua dan Roxy Square. Nasibnya terlihat lebih buruk. Deretan toko tertutup rapat di sepanjang lorong, yang menandakan turunnya aktivitas ekonomi.

Asumsi awal dari berbagai kalangan pengamat, bahwa terjadinya penurunan daya beli masyarakat selama proses pemulihan ekonomi. Di sisi lain juga ada transformasi bisnis ke dunia online yang lebih efisien bagi konsumen maupun pedagang.

Namun kembali lagi ke data makro ekonomi. Hingga akhir semester I-2017, inflasi masih cukup terjaga pada level 3%, nilai tukar stabil di kisaran Rp 13.300 dan bahkan neraca perdagangan tercatat surplus sebagai efek peningkatan ekspor barang manufaktur.

Sepertinya memang tidak ada celah untuk melihat sisi buruk dari perekonomian Indonesia, apalagi di tengah kondisi global yang juga tak baik dan penuh ketidakpastian.

"Ekonomi tetap tumbuh tapi tidak diikuti oleh kegiatan usaha yang harusnya bisa tumbuh lebih cepat, bukan bagian dari perlambatan," kata Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih kepada detikFinance, Kamis (27/7/2017).

Asumsi Lana juga diperkuat oleh data lain dari konsumsi semen nasional. Hingga semester I-2017, realisasinya mencapai sekitar 29 juta ton atau turun 1,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Konsumsi semen salah satu indikator kuat pembangunan berjalan baik atau tidak.

Tadinya kabar baik bisa diharapkan datang dari properti, sebagai sektor yang seharusnya cemerlang akibat kebijakan agresif pemerintah soal pembangunan. Akan tetapi Rumah.com Property Index mencatat (RPI) volume suplai properti mengalami penurunan signifikan di kuartal II-2017, yakni sebesar 9,6%.

Capaian tersebut berbanding terbalik jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang mencatatkan kenaikkan sebesar 11,4%. Sedangkan untuk harga properti residensial secara nasional berapa pada titik 103 pada kuartal II-2017 atau naik tipis 0,39% dibandingkan kuartal I-2017.

Cerita yang sama juga disampaikan oleh Lembaga konsultan properti asal Australia, Savills. Risetnya menunjukkan tingkat kekosongan (vacancy) pasar perkantoran di area CBD, Jakarta mencapai 18,4% atau naik 2,7% dibanding semester sebelumnya.

Permintaan yang tak tumbuh lebih tinggi dibandingkan suplai. Total pasokan pada semester I-201 mencapai 270 ribu m2, sementara penyerapan ruang kantor tidak sampai 63 ribu m2 atau hanya sekitar 1/3.

Savills juga menunjukkan data tentang mal yang makin sepi. Tingkat kekosongan area tenant di mal di Jakarta bergerak naik ke angka 10,8% pada semester I-2017 dari sebelumnya 10,3% di semester II-2016.

Badan Pusat Statistik (BPS) baru akan merilis realisasi pertumbuhan ekonomi pada awal bulan depan. Semua berharap tentunya lebih baik data yang disampaikan sesuai dengan realitas.

Ekonomi tumbuh 5-5,5% menurut Lana tidak akan mengubah keadaan sekarang. Kue ekonomi tersebut hanya dinikmati oleh sedikit sektor yang memang sudah masuk dalam kategori kuat.

"Kalau hanya sampai 5,5% itu bakal sulit. Pemerintah harus bisa mendekati 6% agar hampir semua sektor bisa akan meningkat," tandasnya. (mkj/ang)

2018 Krisis Ekonomi Lagi?

2018 Krisis Ekonomi Lagi?



REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Iman Sugema

Beberapa kalangan ekonom meramalkan akan adanya kemungkinan krisis ekonomi yang akan melanda Indonesia. Logikanya teramat sederhana, ada siklus krisis 10 tahunan. Pada 1998, Indonesia mengalami krisis moneter yang dimulai dengan merosotnya secara tajam nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.

Krisis ini begitu hebatnya sehingga membangkrutkan swasta besar dan pada akhirnya, pemerintah dipaksa untuk bertekuk lutut di bawah IMF. Sepuluh tahun kemudian, 2008, kita juga terkena imbas sub-prime mortgage crisis. Kali ini, kita tidak terlalu terjerembap. Pertanyaannya, apakah di 2018 akan ada krisis lagi. Berikut adalah jawabannya.

Krisis biasanya tidak terjadi begitu saja, selalu ada sebab musababnya. Kalau ada ritual 10 tahun, itu hanya kebetulan. Beberapa kelemahan struktural yang umumnya menjadi penyebab krisis adalah kerentanan di sektor keuangan seperti terlalu tingginya utang, baik pemerintah maupun swasta, melemahnya harga komoditas ekspor utama, pelarian modal secara besar-besaran dan serentak, dan ringkihnya sektor perbankan. Semua hal di atas terjadi pada 1998.
Pada 2008, sektor perbankan di Amerika dan Eropa kolaps, sementara di Indonesia cukup baik kecuali dua bank, yakni Bank Century dan Bank IFI. Pelarian modal pun hanya terjadi sebentar dan dalam skala yang relatif kecil. Melihat pengalaman seperti itu, saya yakin tidak ada masalah domestik yang perlu menimbulkan kekhawatiran luar biasa.

Sektor perbankan relatif berkinerja baik, kecuali satu dua bank kecil yang kinerja keuangannya agak mengkhawatirkan. LPS masih sanggup menangani bank tersebut. Harga komoditas saat ini mulai merangkak naik secara perlahan. Memang ada sedikit kekhawatiran dari sisi utang pemerintah, tapi itu pun dapat dikendalikan secara pre-emptive.

Utang pemerintah memang meningkat tajam dari sisi nominal dan rasio cicilan bunga serta pokok mendekati tidak sehat. Lebih dari seperempat penerimaan negara dipakai untuk mencicil utang. Jadi risiko terbesar adalah refinancing risk.

Pemerintah akan kesulitan membayar kembali utang bila tiba-tiba pasar surat berharga mengalami penciutan besar-besaran. Itu bisa terjadi kalau ada pelarian modal secara besar-besaran. Tapi itu pun ada jalan keluarnya, yakni konsolidasi fiskal secara realistis.

Sampai saat ini, Kementerian Keuangan selalu kedodoran dalam memenuhi target pajak. Akibatnya, utang dijadikan andalan untuk menutupi kekurangan pemasukan negara. Untuk mengatasi hal seperti ini perlu tiga langkah yang secara gradual dilakukan.

Pertama adalah mengendalikan defisit selalu di bawah 1,9 persen dari PDB selama lima tahun berturut-turut dalam situasi sesulit apa pun. Ini berfungsi untuk mengendalikan pembayaran utang pemerintah tetap berada di ambang yang sehat dan berkesinambungan. Target jangka panjangnya adalah menurunkan rasio cicilan berada di bawah 20 persen dari penerimaan negara.

Kedua, melakukan reformasi perpajakan yang lebih komprehensif, terutama di beberapa area yang sangat memungkinkan bagi negara untuk melakukan perluasan. Salah satu ciri negara modern adalah efektivitas penarikan pajak pendapatan pribadi. Tentu ini tidak bisa dilakukan secara sekonyong-konyong dalam waktu yang singkat. Basis pajak secara akurat perlu diperluas, terutama di pekerja sektor formal.

Secara perlahan, melalui digitalisasi perekonomian akan terjadi formalisasi sektor informal. Sejalan dengan berkembangnya e-commerce, penarikan pajak penjualan, dan nilai tambah akan menjadi lebih mudah. Setiap transaksi akan meninggalkan digital footprint.

Dari situ kita dapat melacak setiap transaksi keuangan secara transparan, mulai dari payroll, perkembangan penjualan, dan transaksi penambahan nilai dari setiap aktivitas perekonomian. Inti dari reformasi pajak adalah interkoneksi digital antartransaksi.

Ketiga, tampaknya perlu dilakukan pengendalian terhadap pengeluaran pemerintah pusat terutama di dua sisi, yakni rasionalisasi subsidi dan pengalihan beban pembangunan infrastruktur. Subsidi energi tampaknya perlu ditekan lebih rendah lagi sampai ambang berada di bawah setengah persen dari PDB.

Mumpung harga minyak belum melesat tajam, kita harus secara dini melepas sebagian subsidi terutama yang salah sasaran. Pembangunan infrastruktur tentunya tidak boleh berkurang bahkan harus senantiasa ditingkatkan. Salah satu caranya adalah melalui penugasan kepada BUMN untuk mencari pendanaan secara mandiri.

Infrastruktur kelistrikan, jalan tol, pelabuhan, dan bandara dapat sepenuhnya dibiayai BUMN melalui sekuritisasi asset. Bahkan, penguatan modal tidak harus dari pemerintah karena BUMN yang sehat dapat menerbitkan sub-debt.

Tampaknya kalau langkah-langkah tersebut dapat ditempuh secara konsisten, kerentanan keuangan pemerintah dapat dikurangi secara gradual. Maka dari itu, hampir tak ada yang harus dikhawatirkan tentang krisis 2018.

Ini Tujuh Masalah Pendidikan di Indonesia Menurut JPPI


Ini Tujuh Masalah Pendidikan di Indonesia Menurut JPPI


ini linknyaIni Tujuh Masalah Pendidikan di Indonesia Menurut JPPI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat tujuh masalah pendidikan yang harus segera diselesaikan pemerintah untuk mewujudkan Nawacita bidang pendidikan.

"Masih ada celah yang harus terus diperbaiki, terutama dalam meningkatkan mutu pendidikan sebagaimana yang dicita-citakan," kata Koordinator Nasional JPPI, A. Ubaid Matraji kepada Republika.co.id, Selasa (2/5).

Pertama, nasib program wajib belajar (wajar) 12 tahun ini masih di persimpangan jalan. Alasannya, program itu belum memiliki payung hukum. Perbincangan soal realisasi wajar 12 tahun ini mengemuka sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga 2015.

Namun, sepanjang 2016-2017, tidak ada lagi perbincangan dan langkah untuk mewujudkan hal itu. Menurutnya, mandegnya wajar 12 tahun akibat tidak adanya payung hukum yang dapat mendorong untuk mewujudkannya.

Ubaid beranggapan, seharusnya, UU Sisdiknas harus diamandemen khususnya pasal terkait wajar sembilan tahun diubah menjadi 12 tahun. Atau, bisa juga didorong melalui Instruksi Presiden dan Peraturan Daerah tentang pelaksanaan wajar 12 tahun di provinsi.

Kedua, angka putus sekolah dari SMP ke jenjang SMA mengalami kenaikan. Hal ini dipicu maraknya pungutan liar di jenjang MA/SMK/SMA. Banyak kabupaten/kota yang dulu sudah menggratiskan SMA/SMK, tapi kini mereka resah karena banyak provinsi yang membolehkan sekolah untuk menarik iuran dan SPP untuk menutupi kekurangan anggaran untuk pendidikan.

Menurutnya, alih wewenang pengelolaan jenjang sekolah menengah ini tidak menjawab kebutuhan wajar 12 tahun. Namun, hanya peralihan wewenang yang justru menimbulkan masalah baru.

Ketiga, pendidikan agama di sekolah mendesak untuk dievaluasi dan dibenahi, baik metode pembelajarannya maupun gurunya. Berdasarkan penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta (Desember 2016), terdapat 78 perden guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di sekolah, setuju jika pemerintah berdasyarkan syariat Islam dan 77 persen guru PAI mendukung organisasi-organisasi yang memperjuangkan syariat Islam.

Ubaid menilai hal itu merupakan cara pandang yang berbahaya bagi keutuhan NKRI. Jika dibiarkan, benih-benih intoleran dan sikap keagamaan yang radikal akan tumbuh subur di sekolah.

Keempat, masih lemahnya pengakuan negara atas pendidikan pesantren dan madrasah (diniyah). Model pendidikan ini berperan sejak dahulu, jauh sebelum Indonesia merdeka.

Namun, kini perannya termarginalkan karena tidak sejalan dengan kurikulum nasional. Maka, tidak heran, jika belakangan ini kekerasan atas nama agama, SARA, dan benih-benih radikalisme tumbuh subur. Sebab, pendidikan agama di sekolah tidaklah cukup memadahi.

Pendidikan agama tidak bisa dilakukan secara instan di sekolah. Jadi, sekolah perlu bersinergi dengan lembaga pesantren dan madrasah diniyah untuk memberikan pemahaman agama yang komprehensif (tafaqquh fiddin), yang bervisi rahmatan lil alamin. Untuk itu, RUU madrasah dan pesantren harus masuk Prolegnas 2017.

Kelima, pendistribusian Kartu Indonesia Pintar (KIP) harus tepat sasaran dan tepat waktu. Bersekolah bagi kaum marginal masih jadi impian. Marginal di sini terutama dialami oleh warga miskin dan anak-anak yang berkebutuhan khusus.

Angka putus sekolah didominasi oleh kedua kelompok tersebut. Program BOS, BSM, dan KIP perlu dievaluasi karena nyatanya masih banyak anak miskin yang susah masuk sekolah. Pendistribusian yang lambat, alokasi yang tidak akurat, dan juga penyelewengan dana turut menyelimuti implementasi program tersebut.

Khusus untuk kelompok difabel, mereka terkendala susahnya menemukan sekolah inklusi. Akhirnya, mereka harus bersekolah dengan teman yang senasib, dan semakin menjadikannya tereksklusi dari realitas sosial.

Keenam, kekerasan dan pungutan liar di sekolah masih merajalela. Potret buram pendidikan di Indonesia masih diwarnai oleh kasus kekerasan di sekolah dan pengaduan pungli. Modus kekerasan ini sudah sangat rumit untuk diurai, karena para pelakunya dari berbagai arah.

Komponen utama sekolah, yakni, wali murid, guru, dan siswa, satu sama lain berperan ganda. Artinya, masing-masing dapat berperan sebagai pelaku, dapat pula jadi korban. Penerapan sekolah ramah anak menjadi penting untuk direvitalisasi. Di sisi lain, fakta pungutan liar di seakan tidak dapat dikendalikan, terutama terjadi di sekolah negeri yang harusnya bebas pungutan dan juga terjadi di jenjang sekolah menengah.

Ketujuh, ketidak-sesuaian antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Saat ini ada lebih dari tujuh juta angkatan kerja yang belum mempunyai pekerjaan. Sementara di saat yang sama, dunia usaha mengalami kesulitan untuk merekrut tenaga kerja terampil yang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan dan siap pakai.

Ini menunjukkan bahwa ada gap antara dunia industri dengan ketersedian tenaga terampil di Indonesia. Ini penting, sebab di era MEA, serbuan tenaga kerja asing akan meminggirkan dan mempensiundinikan tenaga kerja Indonesia. Untuk itu, perbaikan dan penyempurnaan kurikulum di sekolah juga harus mampu menjawab masalah ini. 

Omzet PKL dan UMKM Makin Anjlok, Indonesia Diambang Krisis Ekonomi 2017

17 18:05 WIB

Omzet PKL dan UMKM Makin Anjlok, Indonesia Diambang Krisis Ekonomi 2017


ini linknyaOmzet PKL dan UMKM Makin Anjlok, Indonesia Diambang Krisis Ekonomi 2017

Jakarta, HanTer - Indonesia saat ini diambang krisis ekonomi 2017. Ekonomi makin terpuruk. Usaha ekonomi rakyat, seperti PKL  dan UMKM omzetnya makin anjlok. Pengusaha kelas menengah dan kelas atas (besar) sudah menarik diri, enggan berusaha.

“Bahkan investasi asing sudah tidak percaya dengan kondisi republik kita. Hingga saat ini daya beli rakyat pun makin menurun. Ke depan, high risk terjadi PHK besar-besaran yang makin perpuruk ekonomi Indonesia", kata Ketua Umum DPP Asosiasi Pedagang Kaki Lima (APKLI), dr Ali Mahsun di Jakarta, Jumat (4/8/2017).

Menurutnya, krisis ekonomi tidak boleh terjadi di negeri ini. Juga tak boleh terjadi perluasan dan lonjakan angka pengangguran dan kemiskinan. “Hal ini akan menyebabkan terjadinya kelaparan massal dan masif, dan ini  sebagai ancaman serius atas bubarnya Indonesia.

“Oleh karena itu, APKLI desak Presiden Jokowi segera ambil langkah khusus segera atasi ancaman krisis ekonomi 2017. Jika tak mampu, kalau saya yang jadi Presiden maka segera mengundurkan diri demi utuhnya merah putih dan NKRI,” papar Ali Mahsun, dokter Ahli Kekebalan Tubuh jebolan FKUB dan FKUI.

Daya Beli Melemah

Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) terus mengeluhkan penurunan daya beli  masyarakat yang berdampak terhadap industri. Pemerintah diminta mengambil kebijakan tepat guna memacu pertumbuhan ekonomi yang sehat, sehingga dapat meningkatkan kembali daya beli masyarakat secara merata.

"Daya beli sekarang benar-benar nge-drop. Ini sudah warning banget," tegas Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Jumat (4/8/2017).

Pelemahan daya beli tersebut ditunjukkan dengan penurunan penjualan sepeda motor dan mobil, penjualan ritel, dan industri lainnya. Penyebabnya, ada ketidakmerataan distribusi pendapatan karena berbagai hal.

"Melihat tren investasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), penanaman modal naik, namun penyerapan tenaga kerja mengecil. Akhirnya distribusi pendapatan tidak merata, dan daya beli drop. Pada kebingungan semua, karena kelas menengah kan tidak beli sepeda motor, beli mie instan, jadi kita perlu menumbuhkan kalangan bawah," jelas dia.

Hariyadi berpesan agar pemerintah segera mengambil kebijakan tepat guna meningkatkan kembali daya beli masyarakat Indonesia. Salah satunya mengenai aturan ketenagakerjaan yang perlu direlaksasi. "Ambil kebijakan yang tepat, termasuk mengenai aturan ketenagakerjaan, jangan sepotong-sepotong," ujarnya.

Seperti diketahui, data Bappenas menunjukkan, pertumbuhan penjualan ritel riil dari 16‎,3 persen pada Juni 2016, anjlok menjadi 6,7 persen di Juni 2017. Impor barang konsumsi pun menyedihkan, dari pertumbuhan positif sebesar 11,1 persen menjadi negatif 0,8 persen.

Begitupun dengan pertumbuhan penjualan sepeda motor di bulan keenam ini anjlok menjadi negatif 26,9 persen dari sebelumnya di periode sama tahun lalu negatif 9,7 persen‎. Pertumbuhan penjualan mobil dari positif 11,4 persen menjadi negatif 27,5 persen. Sedangkan NTP turun dari 101,5 menjadi 100,5.

Pemenuhan Guru dan Pendidikan di Indonesia Belum Efektif


Pemenuhan Guru dan Pendidikan di Indonesia Belum Efektif


REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menyebut, upaya pemerintah dalam memenuhi kebutuhan guru, fasilitas dan tenaga kependidikan di Indonesia belum efektif. Hal itu, berdasarkan pada hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK pada tahun 2017.
Anggota BPK Harry Azhar Azis menerangkan, ada empat jenis pemeriksaan dilakukan BPK yang telah dilakukan sejak tahun 2016 dan direncanakan selesai pada 2019 mendatang. Adapun fokus pemeriksaan pada tahun 2017, yaitu berkaitan dengan upaya pemerintah dalam memenuhi kebutuhan guru dan tenaga pendidikan di seluruh Indonesia.
"Pengelolaan guru hingga kini masih belum optimal baik dari segi kuantitas atau kualitas kan, makanya kami lakukan pemeriksaan dengan dibantu provinsi atau kabupaten/kota untuk itu (pemeriksaan)," jelas Harry saat ditemui di kantor BPK, Jakarta pada Selasa (21/11).
Menurut Harry, ketidakoptimalan kondisi pengelolaan guru terlihat dari jumlah dan distribusi guru yang belum merata, serta kualitas, kompetensi dan profesionalisme guru yang minim. Karena itu, Azhar menegaskan pemerintah wajib mengusahakan satu sistem pendidikan nasional, juga harus memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD.
Harry menyatakan, BPK akan terus mendorong pengelolaan keuangan negara untuk mencapai tujuan negara dalam pemenuhan kependidikan tersebut. Sebelumnya, lanjut dia, pada tahun 2016 BPK juga telah melakukan pemeriksaan mengenai pemenuhan sarana dan prasana (sarpras) pendidikan.
"Soal sarpras di daerah masih banyak yang kurang. Hampir 70-80 persen ruang kelas, perpustakaan dan toilet itu di bawah standar, 70-80 persen," kata Harry.
Harry berharap, hasil pemeriksaan tersebut, bisa menjadi perhatian pemerintah dalam mengoptimalkan dana pendidikan. Selanjutnya, dia merincikan, pada tahun 2018 nanti, fokus pemeriksaan BPK yaitu mengenai pendanaan peserta didik. Serta, tahun 2019 lebih menitikberatkan pada peningkatan kualitas pembelajaran.

ekonomi penyebab krisis 1998 dan 2008 menurut Sri Mulyani

Penyebab krisis 1998 dan 2008 menurut Sri Mulyani
ini linknyaPenyebab krisis 1998 dan 2008 menurut Sri Mulyani

Merdeka.com - Indonesia pernah mengalami dua kali masa krisis ekonomi, terutama krisis keuangan. Tahun 1998 dan tahun 2008. Dua krisis itu adalah pelajaran berharga bagi Indonesia dalam menata sektor ekonomi keuangan, agar krisis tidak terjadi lagi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan belajar dari dua krisis keuangan yang terjadi, pemerintah telah mengantisipasi segala kemungkinan yang dapat menyebabkan krisis keuangan terjadi lagi. Sejauh ini, pemerintah telah memperkuat sejumlah faktor.

"Sebetulnya kalau kita belajar dari dua krisis 1997-1998 dan 2008-2009 penyebabnya sama sekali berbeda. Dunia terus melakukan perbaikan dalam memonitor berbagai indikator," ujar Menteri Sri Mulyani di Gedung Pusat Direktorat Jenderal Pajak,Jakarta, Selasa (31/10).

Menteri Sri Mulyani mengatakan penyebab krisis 1998 salah satunya dipicu oleh neraca pembayaran Indonesia yang tidak menentu. Nilai kurs yang tidak fleksibel dan cenderung tidak bersahabat terhadap kondisi pasar disebut menjadi pemicu krisis tersebut. 

"Krisis 1997-1998 trigernya NPI. Negara di Asia relatif punya kurs tidak fleksible atau bahkan fix. Maka di satu titik mereka alami ketidaksinkronan adanya nilai tukar yang berbeda dari trade sektor. Dan ketidaksinkronan itu memunculkan spekulasi. Risiko seperti ini sudah jadi pembelajaran," jelasnya.

Kemudian, pada krisis 2008, disinyalir disebabkan oleh produk derivatif yaitu munculnya produk-produk baru berbasis teknologi dengan resiko tersembunyi. "2008 Itu lebih ke produk derivatif. Kami sebagai policy maker terus melihat, risiko baru yang muncul akibat adanya produk tersebut," jelas Menteri Sri Mulyani.

Menteri Sri Mulyani menambahkan tahun ini pemerintah telah melakukan simulasi penanganan krisis. Simulasi tahun ini difokuskan untuk menguji bagaimana penerapan UU Nomor 9 tahun 2016 mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan (PPKSK).

Adapun, beberapa kementerian lembaga yang terus berkoordinasi mengantisipasi krisis keuangan diantara Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Kementerian Keuangan. Koordinasi juga di dalam pengambilan keputusan di dalam rangka penanganan bank bermasalah.

"Simulasi tersebut juga menguji peraturan pelaksanaannya, yang terkait dengan resolusi bank apabila mereka menghadapi kondisi krisis atau kesulitan," jelasnya.

MAKALAH PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

MAKALAH PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah. Berdasarkan Survey United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap kualitas pendidikan di Negara-negara berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada level 14 dari 14 negara berkembang.
Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya para guru dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya. Kelemahan para pendidik kita, mereka tidak pernah menggali masalah dan potensi para siswa. Pendidikan seharusnya memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang nyaman dalam menuntut ilmu. Proses pendidikan yang baik adalah dengan memberikan kesempatan pada anak untuk kreatif. Itu harus dilakukan sebab pada dasarnya gaya berfikir anak tidak bisa diarahkan.
Selain kurang kreatifnya para pendidik dalam membimbing siswa, kurikulum yang sentralistik membuat potret pendidikan semakin buram. Kurikulum hanya didasarkan pada pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat. Lebih parah lagi, pendidikantidak mampu menghasilkan lulusan yang kreatif. Ini salahnya, kurikulum dibuat di Jakarta dan tidak memperhatikan kondisi di masyarakat bawah. Jadi, para lulusan hanya pintar cari kerja dan tidak pernah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, padahal lapangan pekerjaan yang tersedia terbatas. Kualitas pendidikan Indonesia sangat memprihatinkan. Berdasarkan analisa dari badan pendidikan dunia (UNESCO), kualitas para guru Indonesia menempati peringkat terakhir dari 14 negara berkembang di Asia Pacifik. Posisi tersebut menempatkan negeri agraris ini dibawah Vietnam yang negaranya baru merdeka beberapa tahun lalu. Sedangkan untuk kemampuan membaca, Indonesia berada pada peringkat 39 dari 42 negara berkembang di dunia. Lemahnya input quality, kualitas guru kita ada diperingkat 14 dari 14 negara berkembang. Ini juga kesalahan negara yang tidak serius untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dari sinilah penulis mencoba untuk membahas lebih dalam mengenai pendidikan di Indonesia dan segala dinamikanya.
B. Pembatasan Masalah
Dari uraian di atas dilihat begitu kompleksnya permasalahan dalam pendidikan yang ada di Indonesia. Oleh karena itu Penulis membatasi beberapa masalah dalam penulisan makalah dengan “Masalah-masalah mendasar pendidikan di Indonesia, Kualitas pendidikan di Indonesia, dan Solusi Pendidikan di Indonesia.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan
Sesuai dengan pembatasan masalah di atas, maka tujuan penulisan adalah untuk mengetahui masalah-masalah apa saja yang terjadi pada pendidikan di Indoensia yang dillihat dari kualitas pendidikannya semakin hari semakin menurun.
2. Manfaat
Dari penulisan ini diharapkan mendatangkan manfaat berupa penambahan pengetahuan serta wawasan penulis kepada pembaca tentang keadaan pendidikan sekarang ini sehingga kita dapat mencari solusinya secara bersama agar pendidikan di masa yang akan dapat meningkat baik dari segi kualitas maupun kuantitas yang diberikan.
BAB II
LANDASAN TEORI
Sebelum kita membahas mengenai permasalahanpermasalahanpendidikan di Indonesia, sebaiknya kita melihat definisi dari pendidikanitu sendiri terlebih dahulu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian yaitu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik.
Ki Hajar Dewantara, sebagai Tokoh Pendidikan Nasional Indonesia, peletak dasar yang kuat pendidkan nasional yang progresif untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang merumuskan pengertian pendidikan sebagai berikut :
Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual dan tubuh anak); dalam Taman Siswa tidak boleh dipisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik, selaras dengan dunianya (Ki Hajar Dewantara, 1977:14)
Dari etimologi dan analisis pengertian pendidikan di atas, secara singkat pendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya.
Pendidikan merupakan proses yang terus menerus, tidak berhenti. Di dalam proses pendidikan ini, keluhuran martabat manusia dipegang erat karena manusia (yang terlibat dalam pendidikan ini) adalah subyek dari pendidikan. Karena merupakan subyek di dalam pendidikan, maka dituntut suatu tanggung jawab agar tercapai suatu hasil pendidikan yang baik. Jika memperhatikan bahwa manusia itu sebagai subyek dan pendidikan meletakkan hakikat manusia pada hal yang terpenting, maka perlu diperhatikan juga masalah otonomi pribadi. Maksudnya adalah, manusia sebagai subyek pendidikan harus bebas untuk “ada” sebagai dirinya yaitu manusia yang berpribadi, yang bertanggung jawab.
Hasil dari pendidikan tersebut yang jelas adalah adanya perubahan pada subyek-subyek pendidikan itu sendiri. Katakanlah dengan bahasa yang sederhana demikian, ada perubahan dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti. Tetapi perubahan-perubahan yang terjadi setelah proses pendidikan itu tentu saja tidak sesempit itu. Karena perubahan-perubahan itu menyangkut aspek perkembangan jasmani dan rohani juga.
Melalui pendidikan manusia menyadari hakikat dan martabatnya di dalam relasinya yang tak terpisahkan dengan alam lingkungannya dan sesamanya. Itu berarti, pendidikan sebenarnya mengarahkan manusia menjadi insan yang sadar diri dan sadar lingkungan. Dari kesadarannya itu mampu memperbarui diri dan lingkungannya tanpa kehilangan kepribadian dan tidak tercerabut dari akar tradisinya.
BAB III
PEMABAHASAN
A. Masalah Mendasar Pendidikan di Indonesia
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikanyang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikankita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.
B. Kualitas Pendidikan di Indonesia
Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia yaitu :
 Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan NasionalDinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan.Dalam hal ini,interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.
 Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya.Dimana,masyarakat merupakan ikon pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek dari pendidikan.
Banyak faktor-faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia semakin terpuruk. Faktor-faktor tersebut yaitu :
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Kendati secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup memadai, namun secara kualitas mutu guru di negara ini, pada umumnya masih rendah. Secara umum, para guru di Indonesia kurang bisa memerankan fungsinya dengan optimal, karena pemerintah masih kurang memperhatikan mereka, khususnya dalam upaya meningkatkan profesionalismenya. Secara kuantitatif, sebenarnya jumlah guru di Indonesia relatif tidak terlalu buruk. Apabila dilihat ratio guru dengan siswa, angka-angkanya cukup bagus yakni di SD 1:22, SLTP 1:16, dan SMU/SMK 1:12. Meskipun demikian, dalam hal distribusi guru ternyata banyak mengandung kelemahan yakni pada satu sisi ada daerah atau sekolah yang kelebihan jumlah guru, dan di sisi lain ada daerah atau sekolah yang kekurangan guru. Dalam banyak kasus, ada SD yang jumlah gurunya hanya tiga hingga empat orang, sehingga mereka harus mengajar kelas secara paralel dan simultan.
Bila diukur dari persyaratan akademis, baik menyangkut pendidikan minimal maupun kesesuaian bidang studi dengan pelajaran yang harus diberikan kepada anak didik, ternyata banyak guru yang tidak memenuhi kualitas mengajar (under quality).
Hal itu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang belum sarjana, namun mengajar di SMU/SMK, serta banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan seperti ini menimpa lebih dari separoh guru di Indonesia, baik di SD, SLTP dan SMU/SMK. Artinya lebih dari 50 persen guru SD, SLTP dan SMU/SMK di Indonesia sebenarnya tidak memenuhi kelayakan mengajar. Dengan kondisi dan situasi seperti itu, diharapkan pendidikan yang berlangsung di sekolah harus secara seimbang dapat mencerdaskan kehidupan anak dan harus menanamkan budi pekerti kepada anak didik. “Sangat kurang tepat bila sekolah hanya mengembangkan kecerdasan anak didik, namun mengabaikan penanaman budi pekerti kepada para siswanya.
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Dengan pendapatan yang rendah, terang saja banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya.
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen.
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
6. Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahanpendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikanyang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikanmenjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikankelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.
C. Solusi Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah, seperti rendahnya kualitas sarana fisik, rendahnya kualitas guru, dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan diatas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:
 Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
 Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikan di Indonesia dapat bangkit dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi baru yang berSDM tinggi, berkepribadian pancasila dan bermartabat.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Banyak sekali factor yang menjadikan rendahnya kualitas di Indonesia. Factor-faktor yang bersifat teknis diantaranya adalah rendahnya kualitas guru, rendahnya sarana fisik, mahalnya biaya rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya relevansi dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan kesempatan.Namun sebenarnya yang menjadi masalah mendasar daridi Indonesia adalah sistemdi Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia yang dihasilkan dari sistem ini adalah manusia yang hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Maka disinilah dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan mesyarakat untuk mengatasi segala di Indonesia.

Kualitas Pendidikan di Indonesia

Kualitas Pendidikan di Indonesia


1.1 Latar Belakang Masalah
Indeks pembangunan pendidikan untuk semua atau education for all di Indonesia menurun. Jika tahun lalu Indonesia berada di peringkat ke-65, tahun ini merosot di peringkat ke-69. Berdasarkan data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011: The Hidden Crisis, Armed Conflict and Education yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang diluncurkan di New York, Senin (1/3/2011), indeks pembangunan pendidikan atau education development index (EDI) berdasarkan data tahun 2008 adalah 0,934. Nilai itu menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia. EDI dikatakan tinggi jika mencapai 0,95-1. Kategori medium berada di atas 0,80, sedangkan kategori rendah di bawah 0,80. Total nilai EDI itu diperoleh dari rangkuman perolehan empat kategori penilaian, yaitu:
  • Angka partisipasi pendidikan dasar,
  • Angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas,
  • Angka partisipasi menurut kesetaraan jender,
  • Angka bertahan siswa hingga kelas V sekolah dasar (SD).
Penurunan EDI Indonesia yang cukup tinggi tahun ini terjadi terutama pada kategori penilaian angka bertahan siswa hingga kelas V SD. Kategori ini untuk menunjukkan kualitas pendidikan di jenjang pendidikan dasar yang siklusnya dipatok sedikitnya lima tahun.
Dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 memuat cita-cita pendidikan bangsa Indonesia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan itu, harkat dan martabat seluruh warga negara akan dapat terwujud. Salah satunya dengan adanya sekolah dan sistem sekolah sebagai suatu lembaga sosial dan pendidikan dipilih dan ditempatkan di antara sistem kelembagaan yang telah ada.
Menurut Suyata, fungsi utama sekolah pada awalnya adalah pengajaran namun dalam perkembangannya sekolah berfungsi majemuk dengan pendidikan sebagai intinya. Persoalan jumlah dan siapa yang perlu memperoleh pendidikan kiranya cukup jelas, yaitu semua rakyat pembentuk bangsa kita, sedangkan yang perlu dipikirkan dan di usahakan adalah kualitas pendidikan atau mutu kecerdasannya, serta cara mencapainya merupakan implikasi pesan utama cita-cita yang diletakkan oleh bapak-bapak pendiri Republik Indonesia dan pengisian pesan tersebut perlu dicari, dikaji, dan terus dikembangkan.
Memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajuan teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa.
Menurut Tilaar, bukan saja bagi para professional, juga bagi masyarakat luas pun terdapat suatu gerakan yang menginginkan adanya perubahan sekarang juga dalam hal usaha peningkatan mutu atau mutu pendidikan. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
2.1 Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia
Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan pendidikan di Indonesia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945. Sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia.
Sesuai dengan ciri pendidikan di Indonesia, salah satunya aspek ketuhanan yang sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui pendidikan-pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui ceramah-ceramah agama di masyarakat, melalui kehidupan beragama di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan ketuhanan di televisi, melalui radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang diserap melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa.
Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah, menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.
2.2 Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia masih menjadi perhatian. Hal ini terlihat dari banyaknya kendala yang mempengaruhi peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Sehingga perlu diteliti dan dicermati agar kelak bangsa Indonesia dapat meningkatkan kualitas pendidikan dengan lancar dan dapat bersaing di Era Globalisasi.
Beberapa pendapat para ahli pendidikan tentang kendala peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, yaitu:
  1. Menurut Soedijarto (1991: 56), bahwa rendahnya mutu atau kualitas pendidikan di samping disebabkan oleh karena pemberian peranan yang kurang proporsional terhadap sekolah, kurang memadainya perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan sistem kurikulum, dan penggunaan prestasi hasil belajar secara kognitif sebagai satu-satunya indikator keberhasilan pendidikan, juga disebabkan karena sistem evaluasi tidak secara berencana didudukkan sebagai alat pendidikan dan bagian terpadu dari system kurikulum.
  2. Secara umum,  Edward Sallis (1984) dalam Total Quality Management in Education menyebutkan, kondisi yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan dapat berasal dari berbagai macam sumber, yaitu miskinnya perancangan kurikulum, ketidak cocokan pengelolaan gedung, lingkungan kerja yang tidak kondusif, ketidaksesuaian system dan prosedur (manajemen), tidak cukupnya jam pelajaran, kurangnya sumber daya, dan pengadaan staf (Syafaruddin, 2002: 14).
  3. Sedangkan menurut laporan Bank Dunia dalam Mulyasa (2002: 12-13), terdapat empat faktor yang diidentifikasi menjadi kendala mutu atau mutu pendidikan di Indonesia, yaitu:
  4. Kompleksitas pengorganisasian pendidikan antara Depdiknas (bertanggung jawab dalam hal materi pendidikan, evaluasi buku teks dan kelayakan bahan-bahan ajar) dan Depagri dalam bidang (ketenagaan, sumber daya material, dan sumber daya lainnya). Di samping itu, Departemen Agama bertanggung jawab dalam membina dan mengawasi sekolah-sekolah keagamaan negeri maupun swasta. Dualisme ini berakibat fatal karena rancunya pembagian tanggung jawab dan peranan manajerial, keterlambatan dan terpilahnya system pembiayaan, serta perebutan kewenangan atas guru.
  5. Praktik manajemen yang sentralistik pada tingkat SLTP. Pembiayaan dan perencanaan oleh pemerintah pusat yang melibatkan banyak departemen. Hal ini menghambat pencapaiaan tujuan wajib belajar pendidikan dasar.
  6. Praktik penganggaran yang terpecah dan kaku. Kompleksitas organisasi yang menyiapkan anggaran pembangunan menjadi rumitnya pengelolaan pendidikan. Bappenas, Depdiknas, dan Depagri, termasuk Depag, dalam menyiapkan anggaran pendidikan. Akibatnya, hal ini menimbulkan dampak negatif, yaitu tidak adanya tanggung jawab yang jelas antar unit, tidak ada evaluasi reguler terhadap kebutuhan riil, dan tidak ada jaminan dana yang dialokasikan secara benar dan merata.
  7. Manajemen sekolah yang tidak efektif. Sebagai pelaku utama, kepala sekolah banyak yang kurang mampu melakukan peningkatan mutu sekolahnya karena tidak dilengkapi dengan kemampuan kepemimpinan dan manajerial yang baik. Pelatihan yang kurang dan rekruitmen kepala sekolah yang belum didasarkan atas kemampuan memimpin dan profesionalitas.
2.3 Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Salah satu penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia, yaitu: rendahnya kualitas guru. Keadaan guru di Indonesia masih menjadi perhatian. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Rendahnya kualitas guru disebabkan oleh guru atau pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebenarnya. Hal lain adalah pendidik yang kurang inovasi dan kurang kreatif dalam pembelajaran yang tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga tidak mudah dimengerti dan membuat tertarik peserta didik.
2.4 Solusi Untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan di Indonesia
Masalah kualitas pendidikan, rupanya menjadi perhatian di dunia pendidikan dewasa ini. Menurut Tilaar (1990: 187), bukan saja bagi para professional, juga bagi masyarakat luas pun terdapat suatu gerakan yang menginginkan adanya perubahan sekarang juga dalam hal usaha peningkatan mutu atau kualitas pendidikan.
Dengan melihat keadaan mutu pendidikan yang rendah, maka telah diupayakan usaha-usaha dalam meningkatkan mutu pendidikan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan mutu pendidikan sasaran sentralnya yang dibenahi adalah mutu guru dan mutu pendidikan guru (Zamroni, 2001:51).
Dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan, maka perlu kiranya dilakukan kegiatan-kegiatan dalam usaha peningkatan kualitas guru, yaitu:
1.    Absensi dan Kedisiplinan Guru
Hal ini sangat menentukan mutu pendidikan guru, karena absensi dan kedisiplinan guru sangat berpengaruh demi kelancaran proses belajar mengajar. Jika guru jarang hadir atau tidak disiplin maka hal itu akan menghambat proses belajar mengajar dan akan mengakibatkan peserta didik menjadi malas. Akan tetapi, jika guru selalu tepat waktu tidak pernah terlambat dalam mengajar, maka hal inilah yang akan menjadi pemacu semangat peserta didik dalam belajar. Dan bagi guru hendaknya selalu mempunyai komitmen sebagai pendidik untuk meningkatkan mutu pendidikan.
2.    Membentuk Teacher Meeting
Dimana teacher meeting dapat diartikan dengan pertemuan atau rapat guru yang merupakan salah satu teknik supervisi dalam rangka usaha memperbaiki situasi belajar mengajar di sekolah.
Tujuan dari Teacher Meeting ini adalah menyatukan pendapat-pendapat tentang metode kerja yang akan membawa mereka bersama ke arah pencapaian tujuan pengajaran yang maksimal dan membantu guru, baik secara individu maupun secara bersama-sama untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, menganalisa problem-problem mereka, perkembangan pribadi dan jabatan mereka.
3. Mengikuti Penataran
Penataran merupakan salah satu saran yang tepat untuk meningkatkan mutu guru terutama dalam hal kemampuan profesionalisme. Seperti yang diungkapkan Djumhur dan Moch Surya dalam bukunya yang berjudul “Bimbingan dan Penyuluhan Di Sekolah”: Penataran adalah usaha pendidikan dan pengalaman untuk meningkatkan mutu guru dan pegawai guna menyelaraskan pengetahuan dan keterampilan mereka sesuai dengan kemampuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidangnya masing-masing (Djumhur,1975:115).
Kegiatan penataran tersebut dimaksudkan untuk:
a. Mempertinggi mutu petugas dalam bidang profesinya masing-masing
b. Meningkatkan efisiensi kerja menuju ke arah tercapainya hasil
Adapun penataran yang diikuti oleh guru adalah penataran yang diadakan oleh DEPAG, Depdikbud maupun lembaga-lembaga lain. Dalam penataran ini tidak semua guru dapat mengikutinya, tetapi hanya guru-guru tertentu dan setelah guru mengikuti penataran maka hasilnya akan disampaikan kepada guru lainnya.
4. Mengikuti Kursus Pendidikan
Dengan mengikuti kursus akan menambah wawasan dan pengetahuan guru. Hal ini juga akan dapat meningkatkan profesionalisme guru lebih bermutu. Kegiatan kursus ini bisa dilakukan secara individu maupun kolektif.
5. Mengadakan Lokakarya atau Workshop
Lokakarya atau Workshop merupakan suatu kegiatan pendidikan “in-service” dalam rangka pengembangan profesionalisme tenaga-tenaga kependidikan (Ametembun, 1981: 103).
Lokakarya merupakan suatu usaha untuk mengembangkan kemampuan berfikir dan bekerja bersama-sama baik mengenai masalah teoritis maupun praktis, dengan maksud untuk meningkatkan mutu hidup pada umumnya serta mutu dalam hal pekerjaan (Piet, 1981: 108).
Dengan adanya lokakarya ini, guru diharapkan akan memperoleh pengalaman baru dan dapat menumbuhkan daya kreatifitas serta dapat memproduksi hasil yang berguna dari proses belajar mengajar. Di samping itu guru dapat memupuk perasaan sosial lebih mendalam terhadap peserta didik, sesama pendidik, dan karyawan maupun terhadap masyarakat.
6. Mengadakan Studi Tour
Kegiatan seperti ini biasanya dilakukan oleh guru-guru yang mengajar mata pelajaran yang sejenis dan berkumpul bersama untuk mempelajari masalah dari pelajaran tersebut, atau sejumlah ilmu pengetahuan yang lain. Lokasi yang dipilih biasanya berkaitan dengan tempat hiburan atau tempat-tempat yang bernilai sejarah, sehingga pelaksanaannya selalu menarik dan menambah semangat.

Sumber:
  • Ametembun, N. A. 1981. Supervisi Pendidikan Penuntun Bagi Para Kepala Sekolah dan Guru-Guru, Suri, Bandung: Suri.
  • Dirawat. 1983.  Pengantar Kepemimpinan Pendidikan.  Surabaya: Usaha Nasional.
  • Djumhur, Moh. Surya. 1975. Bimbingan Dan Penyuluhan Di Sekolah. Bandung: CV. Ilmu.
  • Mulyasa. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung:  Remaja Rosdakarya.
  • Piet, A. Sehartian. 1981. Prinsip Teknik Supervisi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
  • Soedijarto. 1991. Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI. Jakarta: PT. Grasindo.
  • Suyata. 1998. Perbaikan Mutu Pendidikan Transformasi Sekolah Dan Implikasi Kebijakan. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.
  • Syafaruddin. 2002. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan Konsep, Strategi, dan Aplikasi.Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
  • Tilaar, H. A. R. 1990. Pendidikan Dalam Pembangunan Nasional Menyongsong Abad XXI. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Zamroni. 2001. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing.

Pertumbuhan ekonomi di Papua triwulan II alami peningkatan

Pertumbuhan ekonomi di Papua triwulan II alami peningkatan ini linknya Pertumbuhan ekonomi di Papua triwulan II alami peningkatan Per...